Cerpen Karangan ChairinnisaKategori Cerpen Anak, Cerpen Lingkungan Lolos moderasi pada 7 July 2015 Indah adalah saudara sepupu Dimas. ia tinggal di kampung dekat pantai. jarak antara rumahnya dengan laut hanya sekitar satu kilometer. daerah ini rawan banjir. selain banjir karena hujan, kampung itu juga sering dilanda banjir karena air laut pasang. Seminggu yang lalu, kampung Indah baru saja dilanda banjir cukup besar. oleh karena itu, Dimas dan orangtuanya menengok keluarga Indah. disana, mereka berbincang-bincang. “Bagaimana terjadinya banjir itu?” Tanya Dimas pada Indah. “Begini… senin pekan lalu, sejak jam empat sore, hujan turun. lama-kelamaan, hujan makin deras disertai suara halilintar. saat itu, aku sudah menduga pasti akan banjir. dugaanku benar. Jam setengah tujuh malam, air mulai mengenangi halaman rumah. hujan tak reda juga. jam tujuh malam, air sudah mulai masuk ke dalam rumah. ayah, ibu dan aku sudah mulai memindahkan barang-barang ke atas meja atau tempat tidur. Di luar, orang-orang berteriak, banjir, banjir, banjir.’ Kentongan pun dipukul bertalu-talu. suasana benar-benar gaduh. Sementara itu, hujan tetap saja deras. air di dalam rumah makin tinggi saja. setengah jam kemudian, air sudah setinggi meja dan tempat tidur. kami mulai panik. aduh, bagaimana ini? dalam keadaan panik, ayah memerintah untuk membawa barang yang sangat berharga saja ke kantor kelurahan. kebetulan, kantor kelurahan berlokasi di tempat yang tinggi. Ternyata, di kelurahan sudah banyak orang. ibu-ibu dan anak-anak kecil berkumpul di tempat itu. keadaannya penuh sesak dan hiruk-pikuk. Jam delapan malam, hujan mulai reda. tinggi air di dalam rumah kurang lebih 80 cm. terpaksa malam itu, kami tidur di kantor kelurahan. aku tak bisa tidur. dua hari lamanya air baru surut. setelah surut, barulah kami membersihkan rumah dan membereskan barang-barang.” Begitulah penjelasan Indah kepada Dimas. Cerpen Karangan Chairinnisa Facebook Nisa iin Cerpen Banjir Melanda Kampungku merupakan cerita pendek karangan Chairinnisa, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Karena Diary Oleh Adelline Keyla Vanka Namaku Sabrina. Aku mempunyai dua sahabat, bernama Lani dan Alee. Alee hanya kuanggap sebatas teman karena dia selalu sombong dan memamerkan apa yang dia punya. Aku dan Lani sering Tikus Yang Pemaaf Oleh Septiani Ayu Rosita Di sebuah hutan rimba, para hewan berkumpul terlihat sang raja hutan sedang mengadakan acara pemilihan untuk panglima kerajaan hutan itu. Sang raja singa yang berdiri gagah di atas tebing Putri Cimberline Oleh Alvina Aurelia Dahulu, di Kerajaan Inggris yang dikuasai Raja Anderson dan Ratu Lyriena, mereka mempunyai seorang Putri yang bernama Cimberline, Pada suatu hari Putri merayakan ulang tahunnya yang ke 17 Tahun, Perpustakaan Ku Oleh Nur Jasmine Zabrina Siang itu, Rina sedang berjalan sambil melihat bangunan perpustakaan sekolahnya yang belum jadi. Ia sangat mengharapkan perpustakaan sekolahnya itu segera dibuka agar ia dapat membaca banyak buku di sana. Lonely Oleh Amalia M Duh berisik! Aku kan besok ujian, gimana bisa konsen belajar kalo dari tadi berisik. Adek teriak-teriak lah, kak Ari karaokean nggak jelas, mama nonton tv. Berisik! berisik! berisik! Aku “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?” "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"Sampah- sampah tersebut kemudian diangkut oleh truk milik Dinas Pekerjaan Umum yang memang sengaja didatangkan untuk mengangkut sampah sungai. Sungai pun kini tampak sangat bersih. Wali Kelas menjelaskan tentang arti pentingnya kebersihan sungai agar masyarakat di sekitar terbebas dari banjir saat musim hujan datang.
Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid. Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah diseret air bah. “Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, laki-laki berkumis tebal, menepuk pundak kawannya yang menampakkan wajah murung. “Kalau air tak kunjung surut, apa tidak mungkin masjid ini juga bisa-bisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu sama-sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur sapa, apalagi sampai mengobrol berjam-jam seperti ini. “Masjid adalah tempat paling aman. Tak mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang rokok. Dingin menghunus setiap inci kulit. Orang-orang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa bosan yang mulai menghinggapi benak mereka. Berlama-lama mengungsi tentu tidak nyaman. “Mengapa bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya wajah Maksan yang tampak biasa-biasa saja. Diembuskannya asap rokok yang melegakan pikiran rumit Maksan. “Ini tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala mendengar penjelasan Maksan pada pagi lembab. “Itulah mengapa orang-orang kerap berlindung di masjid ketika banjir datang.” Kasno menambahkan dengan binar-binar di matanya, mendahului ucapan Maksan. Beberapa jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu kapan air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut, menyingkir dari rumah-rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun hujan tidak turun setiap hari lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya. “Mungkin kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya ingat ibadah,” bicara Kasno tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab satu-satunya, yang baru ia sadari kalau laki-laki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian menyempit. Ketika awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki-laki di samping masjid itu, Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala. Ia menundukkan wajah. Laki-laki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian sang istri. Pagi agak lembab ketika istrinya terperosok ke lubang parit di antara genangan air yang masih selutut. Waktu itu, istri Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai mengungsi, tidak mau menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan disertai curah hujan yang seakan siap menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan diri. Mastini, istri Maksan, keras kepala. Tak mau dengar omongan-omongan tetangga, termasuk ucapan suaminya yang berkali-kali membujuk perempuan 35-an itu meninggalkan rumah. “Percayalah. Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Kata-kata itu diulang-ulang begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya, yang lambat laun tingginya bertambah. Kematian istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan berkulit kuning langsat itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi, anak Maksan, ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah ranjang bergoyang-goyang, lalu mengalir pelan-pelan ke setiap sudut rumah. Tangis Bardi meledak ketika bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, melihat ibunya dikerumuni orang-orang. Maksan ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu. Bergotong royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air makin bertambah. Kubur digali di pemakaman keluarga, di antara air yang pelan-pelan merambat masuk ke dalam. “Setiap tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke pemakaman. “Mungkin karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan sungai-sungai kian menyempit.” “Mungkin pula karena Allah sedang menguji hamba-hamba-Nya.” “Bagaimana kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut laki-laki berkumis tipis. Orang-orang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka laki-laki itu. Mereka menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan kengerian perihal banjir yang dibilang azab oleh laki-laki dengan tulang-belulang serupa batang lidi pada sebidang dadanya itu. Jasad Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat kemudian, ia menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka, membenamkan wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orang-orang meninggalkan pemakaman. Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas air yang senantiasa mengalir, dengan ketinggian setumit orang dewasa. Tak sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satu-satunya itu dengan menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama tujuh hari bagi sang istri. Warga berbondong-bondong menuju masjid, kurang lebih lima kilometer dari rumah yang mereka tinggalkan. Maksan bersama Bardi terpiuh-piuh melangkah menuju masjid. Dikabarkan melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orang-orang tercengang sekaligus heran, mengapa masjid-masjid tak tersentuh oleh air. Pengungsian dipusatkan di masjid-masjid karena itu cuma satu-satunya tempat yang luput dari serangan banjir. Aneh, pikir orang-orang dalam tempurung kepalanya. Sementara Maksan, selalu setiap hari, lepas maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim doa-doa kepada sang istri, yang kini mungkin makam itu sudah dilumat oleh banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik hidupnya. Kerut-kerut di kening Maksan membentuk garis terombang-ambing. Sorot matanya suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa keluarganya. Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu banjir melanda tahun lalu. “Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno. “Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai-sungai dipersempit. Sampah dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.” Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam dirinya sembari membenarkan perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung di langit. Dua laki-laki itu masuk ke dalam masjid. Mereka ingat belum mengerjakan shalat Isya. Kamis malam kesepuluh, lepas isya Maksan dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian bertambah. Semula Maksan mengira air selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur deras semalam. Tapi, mata laki-laki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus bertambah hingga mencapai undakan masjid. “Banjir …. Banjir …. Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid disambut panik oleh orang-orang yang tengah terlelap. Berbondong-bondong mereka keluar. Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orang-orang. Bocah itu langsung mendekap ayahnya. Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari masjid, mencari tempat aman. “Ke mana kita harus mengungsi?” “Apa masih ada masjid yang luput dari banjir?” Kepanikan merambati sekujur tubuh orang-orang sampai mereka menangis terisak-isak. Sebagian lari terbirit-birit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid, berzikir pasrah, seperti siap menerima kematian apabila Izrail memang mau mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun masuk ke dalam masjid itu. Tiga puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa. Tubuh orang-orang bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan berpandangan bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya. “Kenapa Allah hendak menenggelamkan sendiri rumah-Nya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di antara pikiran Maksan yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir dikirim ke masjid, ia mendengar jeritan orang-orang beristigfar, seakan ingat segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga. “Pertanda apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan menggeleng. Buru-buru mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin meninggi setiap menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya senantiasa beristigfar dengan air mata mengucur terus-menerus. *** Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok, Batang-batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Pamekasan. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep, Madura. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen Wanita yang Membawa Kupu-Kupu 2008, Dari Jendela yang Terbuka 2013, Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia 2013, serta Perempuan dan Bunga-bunga 2014. I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, tahun 1982. Dia menempuh pendidikan seni ISI Denpasar dan sampai kini menetap di Bali. Soma pernah diundang sebagai seniman residensi di NuArt Sculpture Park Bandung, The Netherland Amsterdam Belanda, KIAR 2014 India, CAP Studio Chiang Mai Thailand, dan Reuinon Island Perancis. Dia juga seringkali menerima pembelajar seni secara privat.
Fenomenabencana banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, dan luapan air sungai. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh kegiatan manusia seperti pembuangan sampah di 2 saluran-saluran air yang mengakibatkan aliran sungai menjadi tersumbat oleh banyaknya sampah yang menumpuk. Baca teks berikut! Hidup Sehat Dewasa ini, banyak sekali penyakit baru yang bermunculan. Hal ini karena berkurangnya sistem imun di dalam tubuh kita. … Jika sistem imun di dalam tubuh melemah tubuh gampang sekali terkena penyakit. Selain itu, makan-makanan yang kita konsumsi tidak lagi mengandung vitamin dan mineral yang baik. Bahkan, saat ini telah banyak penjual makanan yang menjual makanan tidak sehat. Terlebih lagi, dengan padatnya aktivitas membuat kita tidak memiliki waktu untuk berolahraga. Padahal, olah raga sangatlah baik untuk kesehatan kita. Akibatnya, tubuh menjadi lemah sehingga mudah terjangkit virus-virus yang ada disekitar kita. Oleh karena itu, marilah kita menerapkan pola hidup sehat agar kita tidak mudah sakit dengan cara mengonsumsi makanan yang sehat dan berolah raga yang rutin. 1. Tentukan nama teks tersebut dan berikan alasannya! 2. Tulislah gagasan utama teks tersebut! 3. Tulis simpulan teks tersebut! ​ Dengan ini kami beri tahukan bahwa pengurus OSIS SMPN I Gunung Putri bermaksud mengadakan studi banding ke SMPN 2 Campedak. ………………….. Sehubungan denga … n kegiatan tersebut, kami berharap Bapak/Ibu berkenan menerima kedatangan kami. Agar kegiatan berjalan sesuai dengan yang kami rencanakan, kami tunggu balasan Bapak/ Ibu ……………………… Kutipan surat tersebut, termasuk dalam jenis surat …. * Tidak resmi Dinas Persahabatan Pribadi​ Disekolah kamu mendapat ilmupancangkan tekad dan niatmubelajarlah dengan semangat selaluagar bahagia masa depanmukata berima pada syair di atas adalah … ....​ Kata hangus Antonim kata selain dari hangus Sebutkan 6 undur intrinsik dalam sebuah dongeng QEbBPQL.